Selasa, 05 Juli 2011

Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar Amerika: Pendekatan Moneter 1987.2 - 1999.1

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

           Kompleksitas sistem pembayaran dalam perdagangan internasional semakin bertambah tinggi dalam kondisi perekonomian global seperti yang berkembang akhir-akhir ini. Hal tersebut terjadi akibat semakin besarnya volume dan keanekaragaman barang dan jasa yang akan diperdagangkan di negara lain. Oleh karena itu upaya untuk meraih manfaat dari globalisasi ekonomi harus didahului upaya untuk menentukan kurs valuta asing pada tingkat yang menguntungkan. Penentuan kurs valuta asing menjadi pertimbangan penting bagi negara yang terlibat dalam perdagangan internasional karena kurs valuta asing berpengaruh besar terhadap biaya dan manfaat dalam perdagangan internasional.
Posisi penting kurs valuta asing dalam perdagangan internasional mengakibatkan berbagai konsep yang berkaitan dengan kurs valuta asing mengalami perkembangan dalam upaya mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kurs valuta asing. Konsep-konsep yang berkaitan dengan penentuan kurs valuta asing mulai mendapat perhatian besar dari ahli ekonomi terutama sejak kelahiran kurs mengambang pada tahun 1973. Sejak saat itu kurs valuta asing dibiarkan berfluktuasi sesuai dengan fluktuasi variabel-variabel yang mempengaruhinya.
Konsep penentuan kurs diawali dengan konsep Purchasing Power Parity(PPP), kemudian berkembang konsep dengan pendekatan neraca pembayaran ( balance of payment theory ). Perkembangan konsep penentuan kurs valuta asing selanjutnya adalah pendekatan moneter (monetary approach) . Pendekatan moneter menekankan bahwa kurs valuta asing sebagai harga relatif dari dua jenis mata uang, ditentukan oleh keseimbangan permintaan dan penawaran uang. Pendekatan moneter mempunyai dua anggapan pokok , yaitu berlakunya teori paritas daya beli dan adanya teori permintaan uang yang stabil dari sejumlah variabel ekonomi agregate. Hal tersebut berarti model pendekatan moneter terhadap kurs valuta asingdapat ditentukan dengan mengembangkan model permintaan uang dan model paritas daya beli.
Di Indonesia , ada tiga sistem yang digunakan dalam kebijakan nilai tukar rupiah sejak tahun 1971 hingga sekarang. Antara tahun 1971 hingga 1978 dianut sistem tukar tetap ( fixed exchange rate) dimana nilai rupiah secara langsung dikaitkan dengan dollar Amerika Serikat ( USD). Sejak 15 November 1978 sistem nilai tukar diubah menjadi mengambang terkendali ( managed floating exchange rate) dimana nilai rupiah tidak lagi semata-mata dikaitkan dengan USD, namun terhadap sekeranjang valuta partner dagang utama. Maksud dari sistem nilai tukar tersebut adalah bahwa meskipun diarahkan ke sistem nilai tukar mengambang namun tetap menitikberatkan unsur pengendalian. Kemudian terjadi perubahan mendasar dalam kebijakan mengambang terkendali terjadi pada tanggal 14 Agustus 1997, dimana jika sebelumnya Bank Indonesia menggunakan band sebagai guidance atas pergerakan nilai tukar maka sejak saat itu tidak ada lagi band sebagai acuan nilai tukar. Namun demikian cukup sulit menjawab apakah nilai tukar rupiah sepenuhnya dilepas ke pasar ( free floating) atau masih akan dilakukan intervensi oleh Bank Indonesia. Dengan mengamati segala dampak dari sistem free floating serta dikaitkan dengan kondisi/struktur perekonomian Indonesia selama ini nampaknya purely free floating sulit untuk dilakukan. Kemungkinannya adalah Bank Indonesia akan tetap mempertahankan managed floating dengan melakukan intervensi secara berkala, selektif , dan pada timing yang tepat. 
Dengan melemahnya nilai tukar mata uang Indonesia menandakan lemahnya kondisi untuk melakukan transaksi luar negeri baik itu untuk ekspor-impor maupun hutang luar negeri. Terdepresiasinya mata uang Indonesia menyebabkan perekonomian Indonesia menjadi goyah dan dilanda krisis ekonomi dan krisis kepercayaan terhadap mata uang domestik.
Pembicaraan mengenai penentuan kurs valuta asing sekarang ini semakin banyak diperdebatkan. Jika dilihat dari sudut pandang pendekatan moneter, para ekonom pada umumnya melihat kurs valuta asing dipengaruhi oleh variabel fundamental ekonomi , antara lain jumlah uang beredar, tingkat output riil dan tingkat suku bunga ( Mac Donald daan Taylor, 1992,4) .Sementara itu Tucker etal (1991) menambahkan variabel inflasi dalam model tersebut. Selain itu ada pula ekonom yang mempertimbangkan asa pasar ( market sentiment) sebagai faktor yang menentukan tinggi rendahnya kurs valuta asing. Pendekatan moneter merupakan pengembangan konsep paritas daya beli dan teori kuantitas uang. Pendekatan ini menekankan bahwa ketidakseimbangan kurs valuta asing terjadi karena ketidakseimbangan di sektor moneter yaitu terjadinya perbedaan antara permintaan uang dengan penawaran uang ( jumlah uang beredar) ( Mussa, 1976,47)
Pendekatan yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kurs adalah pendekatan moneter. Dengan pendekatan moneter maka diteliti pengaruh variabel jumlah uang beredar dalam arti luas, tingkat suku bunga, tingkat pendapatan, dan variabel perubahan harga. Selain itu dengan mempertimbangkan pelepasan band intervensi oleh Bank Indonesia, sehingga menyebabkan kurs menjadi free floating ,maka dipakai variable dummy untuk mengetahui pengaruh pelepasan band intervensi terhadap kurs.
Dipakainya dollar Amerika sebagai pembanding, karena dollar Amerika merupakan mata uang yang kuat dan Amerika merupakan partner dagang yang dominan di Indonesia.

II. KERANGKA TEORI
Pendekatan Moneter terhadap Kurs Devisa
Pendekatan moneter menyatakan bahwa kurs devisa sebagai harga relatif dari dua jenis mata uang, ditentukan oleh keseimbangan permintaan dan penawaran uang. Pendekatan moneter pada dasarnya terdiri dari dua versi, yaitu versi harga fleksibel (fleksible price version) dan versi harga kaku (sticky price version). Versi harga kaku muncul akibat adanya kritik terhadap anggapan adanya fleksibilitas harga dalam versi harga fleksibel. Menurut versi ini, anggapan adanya kekakuan harga lebih realistis bila menyangkut jangka waktu yang pendek. (Ronald MacDonald;1990). Versi harga kaku sering disebut pendekatan Keynesian karena anggapan adanya variabel jumlah uang beredar yang endogen. Kedua anggapan tersebut tidak mengakui efektifitas mekanisme pasar dalam menyelesaikan ketidakseimbangan pasar uang yang terjadi dalam jangka pendek.
Dalam matematis versi harga kaku dapat diperoleh dengan terlebih dahulu merumuskan kondisi keseimbangan pasar uang dalam dan luar negeri, dimana jumlah uang beredar dianggap berhubungan positif dengan tingkat suku bunga. Kondisi keseimbangan tersebut adalah sebagai berikut :
Mt + drt = Pt + aYt- b rt      (1)
M*t + d r*t = P*t + a Y*t - b r*t     (2)
Definisi masing-masing variabel sama dengan yang ada diversi harga fleksibel, sedangkan (Mt + d rt ) dan ( M*t + d R*t ) merupakan jumlah uang beredar yang dianggap sensitif terhadap suku bunga.
 Anggapan adanya harga mengakibatkan paritas daya beli berlaku hanya dalam jangka panjang. Kondisi tersebut adalah sebagai berikut :
 S’t = Pt - P*t        (3)
Dimana S’t adalah kurs nominal dalam jangka panjang.
Selanjutnya versi ini menganggap paritas suku bunga tidak tertutup (uncoverd interest rate parity) berlaku dalam jangka pendek, yaitu sebagai berikut:
Se t+1 - St = rt - r*t        (4)
Dimana Set+1 adalah kurs yang diharapkan pada periode t+1 berdasarkan informasi yang tersedia pada periode t .
Namun demikian, perubahan kurs yang diharapkan menurut versi ini adalah sebagai berikut :
Set+1 – St = q(S’t – St ) + (iet - ie *t)       (5)
dimana
(iet - ie *t) = perbedaan laju inflasi yang diharapkan antara dalam dan luar negeri
Melalui substitusi persamaan (4) ke (5) akan didapat persamaan baru, yaitu :
St – S’t ) = -1/ q [(rt - iet ) - ( r*t - ie *t) ]     (6)
Persamaan ini menyatakan bahwa penyimpangan kurs dari posisi keseimbangan jangka panjang tergantung pada perbedaan suku bunga riil diantara dua negara.
Model matematis versi harga kaku diperoleh dengan substitusi persamaan (1) dan (2) ke dalam persamaan (3) dan persamaan (6) , yaitu :
St = (Mt - M*t ) - a( Yt - Y*t ) (d + b + - 1/ q ) (rt - r*t ) + (1/q (iet - ie *t) (7)
Menurut versi harga kaku, koefisien perbedaan jumlah uang beredar dan laju inflasi yang diharapkan adalah positif sedangkan perbedaan pendapatan riil adalah negatif. Namun demikian, koefisien perbedaan suku bunga memiliki dua tanda (ambiguous sign). Koefisien perbedaan suku bunga terdiri dari tiga komponen berbeda yang masing-masing mewakili cara yang berbeda bagaimana suku bunga mempengaruhi kurs devisa. Koefisien d dan b berkaitan dengan penyesuaian jumlah uang beredar dan permintaan uang sebagai tanggapan terhadap perubahan suku bunga sedangkan koefisen -1/ q berkaitan dengan pengaruh perpindahan modal terhadap kurs devisa. Dengan demikian koefisien dari perubahan suku bunga menurut versi harga kaku tergantung dari interaksi antara ketiga komponan tersebut (Alan L,Tucker,1991)
III. METODA PENELITIAN
3.1 Data
Data yang dipakai dalam penelitian ini merupakan data sekunder runtun waktu (time series) dari tahun 1987.2 sampai dengan 1999.1 yang diambil dari data yang diterbitkan oleh International Financial Statistik , dan juga dari laporan Bank Indonesia
 
3.2. Model Dasar dan Alat Analisis
 
Model dasar yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah model dari Dornbusch dan Frankel (1984):
 
St = a + b1 MX t - b2 Yt + b3 RX t + b4 PX ……………
 
dimana:
 
St =  kurs Rupiah/Dollar periode t
MX t = perbedaan uang beredar dalam arti luas di Indonesia dan Amerika pada periode t
YXt  = perbedaan tingkat pendapatan riil Indonesia dan Amerika periode t
RX t = perbedaan suku bunga Indonesia terhadap suku bunga LIBOR periode t
PXt = tingkat perubahan harga relatif di Indonesia dan Amerika pada periode t
Dengan berdasar pada model dasar yang ada , alat analisis yang dipakai dalam penelitian ini adalah dengan mempergunakan Error Correction Model (ECM) atau Model Koreksi Kesalahan . Dengan ECM model yang ada dapat dinyatakan dakam bentuk:
 
DSt= go + g1 DMX t + g2 DYXt + g3 DRX t + g4 DPX t + g5 BMX t + g6 BYXt + g7 BRXt + g8 BPXt + g9 B.ECT   
ECT = Error Correction Term
Kemudian untuk mengetahui pengaruh pelepasan band intervensi maka dibuat variabel dummy, sehingga model penelitian menjadi :
 
DSt= go + g1 DMX t + g2 DYXt + g3 DRX t + g4 DPX t + g5 BMX t + g6 BYXt + g7 BRXt + g8 BPXt + g9 B.ECT + DUMMY   
ECT = Error Correction Term

3.3. Analisis Perilaku Data

1. Uji Akar-Akar Unit
 
Uji ini dapat dipandang sebagai uji stasionaritas. Hal ini karena pada prinsipnya uji tersebut dimaksudkan untuk mengamati apakah koefisien tertentu dari model otoregresif yang ditaksir mempunyai nilai satu atau tidak. Dengan demikian pertanyaan berapa kali suatu data runtun waktu harus dideferensiasi agar diperoleh data stasioner akan terjawab.( Insukindro, 1992b). Data ekonomi yang tidak bersifat stasioner menyebabkan regresi lancung. Unit roots test dilakukan berdasarkan uji yang dikembangkan oleh Dickey dan Fuller (1979). Uji tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut :
 
DX t = ao + a1 BXt + å biBiDXt  
 DX t = co + c1 T + c2BXt + å biBiDXt  
 
Dimana DXt = Xt-X t-1 , BX t = X t-1 , T = trend waktu dan Xt adalah variabel yang diamati pada periode t dan B merupakan operasi kelambanan waktu ke udik (backward lag operator)
 
 
 2. Uji Derajat Integrasi
 
 Unit derajat integrasi dilakukan apabila data tidak stasioner pada waktu uji stasioneritas. Uji ini dimaksudkan untuk melihat pada derajat berapakah data akan stasioner.
Dalam kasus dimana data yang digunakan tidak stasioner , Granger dan Newbold ( 1974) berpendapat bahwa regresi yang menggunakan data tersebut biasanya mempunyai nilai R2 yang relatif tinggi namun memiliki statistik Durbin-Watson yang rendah. Ini memberi indikasi bahwa regresi yang dihasilkan adalah lancung atau semrawut atau sering dikenal dengan regresi lancung atau spurious regression. Secara umum apabila suatu data memerlukan deferensiasi sampai ke d supaya stasioner, maka dapat dinyatakan sebagai I (d). Uji ini mirip dengan akar-akar unit.. Dengan demikian untuk dapat melakukan uji tersebut perlu ditaksir model otoregresif berikut dengan OLS :
 
D2X t = co + c1 BDXt + å fi BiD2Xt   
 D2X t = go + g1 T + g2BXt + å fiBiD2Xt   
Nilai statistik DF (ADF) atau nilai kritis McKinnon kemudian dibandingkan dengan
nisbah t koefisien regresi BDXt . Jika c1 dan g2 sama dengan 1 ,maka variabel Xt dikatakan berintegrasi pada derajat I(1), maka data didiferensikan lagi untuk melihat apakah data stasioner pada I(2) dan seterusnya.
 3. Uji Kointegrasi
 
Uji kointegrasi merupakan kelanjutan dari uji akar-akar unit dan uji derajat integrasi. Uji kointegrasi dimaksudkan untuk menguji apakah residual regresi yang dihasilkan stasioner atau tidak (Engle dan Granger, 1987). Untuk melakukan uji kointegrasi, pertama-tama peneliti perlu mengamati perilaku data ekonomi runtun waktu yang akan digunakan. Ini berarti pengamat harus yakin terlebih dahulu apakah data yang akan digunakan stasioner atau tidak, yang antara lain dapat dilakukan dengan uji akar-akar unit dan uji derajat integrasi. (Insukindro, 1992c, 260) Apabila terjadi satu atau lebih variabel mempunyai derajat integrasi yang berbeda , maka variabel tersebut tidak dapat berkointegrasi (Engle dan Granger,1987). Pada umumnya , sebagian besar pembahasan mengenai issu terkait memusatkan perhatiannya pada variabel yang berintegrasi 0 I(0) atau satu I(1).
Suatu himpunan variabel runtun waktu X dikatakan berkointegrasi pada derajat d,b atau ditulis CI(d,b) bila setiap elemen X berintegrasi pada derajat d atau I(d) dan terdapat saatu vektor k yang tidak sama dengan nol sehingga W = k’XI (d,b), dengan b>0 dan k merupakan vektor kointegrasi. Terdapat tiga uji yang umum dilakukan untuk menguji hipotesis ada dan tidaknya kointegrasi, yaitu uji CRWD (Cointegrating-Regression Durbin Watson) , DF (Dickey-Fuller) dan ADF ( Augmented Dickey Fuller ) ( Engle dan Granger, 1987)
Untuk menghitung statistik CRDW, DF dan ADF ditaksir regresi kointegrasi dengan metode OLS
 
Yt = mo + m1X1t + m2X2t + Et   
Dimana Y merupakan variabel tak bebas, daan X adalah variabel bebas, dan E adalah variabel pengganggu. Langkah selanjutnya regresi berikut ditaksir dengan OLS
DEt = p1 B Et   
DEt  = q1Bet + åw1 B DEt
 
3.4. Model Koefisien Regresi Jangka Panjang
 
 Model koefisien regresi jangka panjang dapat digunakan sebagai alat estimasi variabel harapan(Wickens dan Breusch, 1988, 189). Besaran dan simpangan baku koefisien regresi jangka panjang dapat digunakan untuk mengamati hubungan jangka panjang antar vektor variabel ekonomi seperti yang dikehendaki teori ekonomi.
 Besaran dan simpangan baku koefisien regresi jangka panjang diperoleh melalui pembentukan model dinamis, dalam hal ini dengan mempergunakan error corection model ( model koreksi kesalahan). Misalkan bentuk model koreksi kesalahan tersebut adalah : ( Insukindro,1990,2)
 
DYt = a +b1 DXt + b2 BXt + b3 B (Xt-Yt)   
Dimana : DYt = (1-B) Yt dan DXt = (1-B) Xt
Hubungan jangka panjang antara variabel Yt dan Xt
Yt = a + b Xt         
Besaran koefisien regresi jangka panjang untuk intersep (a) dan variabel Xt (b) adalah:
 
a = a/b3 dan b = (b1+b2)/ b3     
Selanjutnya dengan cara tersebut di atas, simpangan baku koefisien regresi jangka panjang untuk a dan b dapat dihitung dengan persamaan berikut :
 
Var (a ) = a VT (b3,a) a
aT = [da /da .d a/db3] = [ 1/b3- a/b3]   
Var (b) = bVT (b3,a) b
bT = [db /da . d b/db3 ] = [ 1/b3- b/b3]
 
dari uraian di atas terlihat bahwa simpangan baku koefisien regresi dapat dihitung bila dapat ditaksir besaran koefisien regresi dan matrik varians-kovarians parameter yang bersangkutan. Besaran dan matriks kovarians dapat diperoleh dengan bantuan komputer yang berkaitan dengan analisis regresi.
 
IV.ANALISIS DATA
    1. Uji Akar Unit dan Derajat Integrasi

Dengan memperhatikan nilai DF dan ADF untuk uji akar-kar unit dan dibandingkan dengan nilai kritis Mac Kinnon nampak bahwa pada derajat keyakinan 5 %, tidak satupun variabel yang digunakan dalam penelitian ini stasioner. Untuk itu perlu dilakukan uji derajat integrasi untuk mengetahui pada derajat atau orde keberapa variabel yang diamati akan stasioner
Hasil dari nilai DF dan ADF yang didapat kemudian dibandingkan dengan nilai kritis Mac Kinnon ternyata menunjukkan hasil bahwa semua variabel berintegrasi pada derajat atau orde satu ( I(1)).

Tabel 1

Uji Akar-akar Unit dan Derajat Integrasi
VAR
DF
ADF
VAR
DF
ADF
LS
1.8747
0.56412
DLS
-3.2239
-3.5974
LMX
-2.7501
-2.6875
DLMX
-4.1900
-4.3427
LYX
-0.4148
-3.5304
DLYX
-4.9610
-5.0359
PX
-1.4047
-2.1112
DPX
-4.5248
-4.5816
RX
-1.4675
-1.8630
DRX
-4.1736
-4.9461

4.2. Uji Kointegrasi

Setelah diketahui bahwa variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini dapat dianggap mempunyai derajat integrasi yang sama yaitu berintegrasi pada derajat 1 (I(1)), maka langkah selanjutnya adalah memberlakukan uji kointegrasi .
Tabel 2
Estimasi OLS Regresi Kointegrasi LS
 
LS = 4,6808 + 0,01180 LMX + 0,0554 LYX + 7,6783 PX + 0,0243 RX
(3,5317) (0,9888) (8,3856) (7,5160)
 
CRDW = 1,6202 DF = -3,4632 ADF = -2,6284
 
Keterangan : angka dalam kurung merupakan rasio t koefisien yang bersangkutan
 

Dengan memperhatikan nilai statistik CRWD, DF dan ADF pada tabel 2 terlihat bahwa variabel LS , LMX , LYX , PX serta RX secara statistik dengan derajat keyakinan sebesar 5 persen tidak mampu membentuk himpunan variabel yang berkointegrasi. Hal ini menunjukkan bahwa variabel-variabel yang tekait dalam penelitian in yaitu variabel nilai kurs jumlah uang beredar, tingkat pendapatan nasional riil , tingkat suku bunga serta laju inflasi tidak mempunyai hubungan keseimbangan jangka panjang seperti yang diharapkan oleh teori penentuan nilai tukar (kurs) dengan mempergunakan pendekatan moneter. Nampaknya perlu dipertimbangkan variabel-variabel lain yang tidak dipergunakan dalam penelitian ini yang mempengaruhi keseimbangan dalam jangka panjang.(RL Thomas, 1997, 427)
 
4.3. Estimasi OLS dengan Model Koreksi Kesalahan
Tabel 3

Hasil Estimasi Model Koreksi Kesalahan

1987.2 - 1999.1

D(LS) = 1,3552 + 0,0524 D(LMX) + 0,0128 D(LYX) + 4,5345 D(PX) - 0,0058 D(RX)
(1,9866) (3,2375) (0,5993) (10.0949) (-1.1712) 
  • 0,2301 BLMX - 0.2334 BLYX + 1,5268 BPX – 0,2495 BRX
(-2,4112) (-1,9268) (1.3379) (- 2,2498)

Tidak ada komentar: